DPR sekarang sedang sibuk merumuskan syarat calon presiden dan wakil presiden. Syarat itu bisa dibuat memanjang dan melebar ke mana-mana, sampai-sampai menyingkirkan esensi. Yaitu yang dicari bukan sarjana, melainkan pemimpin bangsa.
Konstitusi memang hanya membuat aturan-aturan pokok. Adapun hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan aturan-aturan pokok itu harus diserahkan kepada undang-undang.
Namun, tidak boleh ada ayat di dalam undang-undang yang meniadakan roh aturan-aturan pokok konstitusi. Setiap ayat yang bertentangan dengan semangat konstitusi itu sesungguhnya adalah sebuah kejahatan. Sebuah kudeta terhadap konstitusi.
Potensi kudeta terhadap konstitusi bakal terjadi dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (RUU Pilpres). Syarat-syarat calon presiden yang mulai diwacanakan bertujuan mengabdi kepada kepentingan calon tertentu dan pada saat bersamaan untuk menjegal calon yang lain. Undang-undang yang hendak disusun lebih bersifat personal. Bukan impersonal.
Salah satu syarat yang bisa ditafsirkan bertujuan menjegal calon tertentu adalah presiden mesti lulusan sarjana (S-1). Syarat sarjana itu jelas meniadakan hakikat ketentuan pokok dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 yang hanya menyebutkan presiden ialah orang Indonesia asli.
Perubahan ketiga UUD 1945 pada 9 November 2001 menambah panjang syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden. Pasal 6 ayat (1) itu menjadi berbunyi, 'Calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden'.
Sangat jelas, konstitusi tidak memerintahkan adanya persyaratan yang berkaitan dengan jenjang pendidikan. Calon presiden cukup bisa menghitung, membaca, dan menulis. Itu saja. Tidak perlu ditambah embel-embel lainnya yang berpotensi menyimpang dari konstitusi.
Sebab adakah hubungan antara tingkat pendidikan seseorang dan kualitas kepemimpinan? Jawabannya tegas, tidak ada korelasi antara tingkat pendidikan seseorang dan kualitas kepemimpinan.
Contohnya banyak. Bangsa ini pernah punya tokoh dengan kaliber hebat seperti Panglima TNI Jenderal Besar Sudirman, Sutan Sjahrir, Agus Salim, dan Adam Malik.
Adalah setengah benar premis lulusan sarjana berwawasan luas dan memiliki kemampuan analisis. Itulah wawasan dan kemampuan yang bermanfaat untuk mengambil keputusan yang tepat. Yang jelas pendidikan bukan variabel mutlak. Masih ada variabel lain yang diperlukan untuk menjadi pemimpin yang mumpuni seperti kejujuran, integritas, serta keberanian mengambil keputusan. Semua kualitas itu kiranya tidak didapatkan dari pendidikan formal yang kian kapitalistik dan pragmatis itu.
Kualitas kepribadian itu justru lebih dominan dibentuk lingkungan mulai dari keluarga hingga sosialisasi dalam masyarakat. Belajar hidup bermasyarakat itulah universitas kehidupan.
Ketentuan syarat calon presiden S-1 itu malah hanya mendorong orang mengambil jalan pintas dengan membeli ijazah. Bukankah tidak sedikit calon kepala daerah dan anggota legislatif yang menggunakan ijazah palsu SMA sekadar memenuhi persyaratan formalitas yang ditetapkan perundang-undangan?
Oleh karena itu, DPR tidak usah repot-repot merekayasa syarat calon presiden dan wakil presiden. Cukup asal bisa baca tulis. Selesai perkara.
Sumber :
Editorial Media Indonesia, 31 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
trim's infonya
BalasHapus