Dalam pandangan almarhum Cak Nur (1993) pada dasarnya ajaran ini merupakan pemenuhan alam manusia yang secara pasti telah diberi kebebasan oleh Allah, sehingga pertumbuhan perwujudannya selalu bersifat dari dalam, tidak tumbuh—apalagi dipaksakan–dari luar. Keberagamaan hasil paksaan luar tidak pernah otentik karena kehilangan dimensinya yang paling dasar dan dalam, yakni kemurnian atau keikhlasan.
Kedua, pengakuan akan eksistensi agama-agama lain. Pengakuan Alqur’an terhadap pemeluk agama-agama lain, antara lain tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 62: “Orang-orang beriman (orang-orang Muslim), Yahudi, Kristen, dan Shabi’in yang percaya kepada Allah dan hari kiamat, serta melakukan amal kebajikan akan beroleh ganjaran dari Tuhan mereka. Tidak ada yang harus mereka khawatirkan, dan mereka tidak akan berduka”. Titik tekan ayat ini ada pada aktivitas kongkret umat beragama yang harus berada dalam katagori amal saleh. Itu berarti, masing-masing agama ditantang untuk berlomba-lomba menciptakan kebaikan dalam bentuknya yang nyata.
Ketiga, kesatuan kenabian. Konsep ini bertumpu pada surat al-Syura ayat 13: “Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu agama sebagaimana yang diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya”. Lewat ayat ini, Fathi Osman menegaskan bahwa salah satu pokok keimanan Islam adalah kepercayaan bahwa iman kepada sekalian nabi dan rasul itu mempunyai makna teologis yang mendalam dan menjadi prinsip pluralisme Islam.
Keempat, kesatuan pesan ketuhanan. Konsep ini berpijak surat al-Nisa’ ayat 131. “Dan kepunyaan Allahlah apa yang ada di langit dan di bumi. Dan sesungguhnya Kami telah memerintahkan orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, dan (juga) kepada kamu untuk bertaqwa kepada Allah”.
Menghidupkan yang Normatif
Pandangan normatif tentang pluralisme di atas, tidak boleh dibiarkan berhenti pada lembaran-lembaran teks, tetapi perlu dipahami dengan kerangka metodologis dalam menafsirkan dan mentransformasikannya. Untuk melakukan itu, bagi Kuntowijoyo (1991) dibutuhkan kerja intelektual dan usaha untuk mengangkat teks itu ke tingkat penafsiran yang bebas dari beban-beban atau bias-bias historisnya.
Itu diperlukan sebagai salah satu syarat menuju pluralisme global di kalangan beragam manusia. Di samping kerja intelektual, mewujudkan pluralisme global memerlukan keberanian untuk berdialog dengan pemeluk agama-agama lain. Dialog yang produktif tidak akan terwujud jika dari masing-masing bersikap partisipan dan tidak bersedia membuka diri, saling memberi dan menerima secara sukarela dan antusias. Sikap menutup diri dari dialog itu, menurut Kautsar Azhari Noor (Gaus AF: 1998), bukan merupakan suatu kekokohan dasar sejati dalam beriman, tapi merupakan kegoyahan. Kekokohan yang sejati tidak memerlukan ‘benteng’ ketertutupan.
Dialog konstruktif untuk menghindari salah paham antaragama merupakan tuntutan yang tak bisa ditunda. Karena itu, kita harus tetap menghargai agama dan kepercayaan lain tanpa dihantui anggapan "menyamakan semua agama". Setiap agama tentu punya ciri. Masing-masing agama punya paham dan konsepsi mengenai siapa yang disembah. Tapi dalam hal etika dan moral, titik persamaan akan lebih banyak tampak pada semua agama. Di situlah visi global pluralisme agama bisa berkecambah.
trim's infonya
BalasHapus